Berikut ini cerpen yang akan dijadikan naskah drama :
Laila
menangis tidak selamanya tanda
kelemahan. Tapi istri saya tidak bisa menafsirkan lain, ketika melihat kucur
air mata Laila.
”Ada apa lagi Laila,” tanya istri
saya. ”Kok nangis seperti sinetron, kapan habisnya?”
Tangis Laila bukannya berhenti,
malah tambah menjadi-jadi. Saya cepat memberi kode rahasia supaya interogasi
itu jangan dilanjutkan. Besar kemungkinan, itu taktik minta gaji naik.
”Laila itu bukan jenis pembantu
murahan yang mata duitan. Dia orang Jawa yang tahu diri, memangnya kamu!”
bentak istri saya, sambil menarik Laila bicara empat mata.
”Dia punya konflik,” kata istri saya
kemudian. ”Suaminya kurang ajar. Masak memaksa Laila banting tulang, tapi
dianya ngurus anak ogah! Primitif banget! Laki-laki apa itu? Giliran anaknya
kena DB dibiarin saja. Coba kalau sampai mati bagaimana? Pasti si Laila lagi
yang disalahin! Memangnya perempuan WC untuk nampung kotoran?!”
”Terlalu!”
”Sekarang si Romeo nyuruh Laila
berhenti lagi!”
”Berhenti?”
”Ya! Apa nggak gila?! Kalau Laila
tidak kerja mau ngasih makan apa si Arjuna?”
”Kali Laila dapat kerjaan baru.”
”Mana ada orang mau menerima
pembantu yang tiap sebentar pulang, karena anaknya nangis!”
”Jadi Laila akan berhenti?”
”Tidak! Biar Laila bawa Arjuna
kemari, jadi kerjanya tenang.”
”Boleh sama si Romeo?”
”Memang itu yang dia mau!”
Saya menarik nafas. Sejak itu,
Arjuna yang baru lima tahun itu jadi bagian dari rumah kami. Kalau dia nangis,
sementara ibunya memasak, sedangkan istri saya sibuk, itu tanggung jawab saya.
Mula-mula berat. Tapi kemudian
terjalin persahabatan indah antara saya dan Arjuna. Saya bahkan merasa
tersanjung ketika Arjuna memanggil saya Pakde.
Sudah 11 tahun saya dan istri
merindukan anak. Kami sudah capek menjalani nasehat dokter. Akhirnya kami ambil
kesimpulan, tugas manusia memang beda-beda. Kami mungkin bukan mesin reproduksi
manusia.
Kehadiran Arjuna membuat rumah
berubah. Kelucuan bahkan kebandelan Arjuna menyulap tiap hari jadi beda.
Sampai-sampai istri saya memanggilnya si Buah Hati.
Tapi pulang dari mudik, saya
terkejut. Di dapur terdengar suara ketawa beberapa orang anak. Ternyata di situ
ada lima bocah hampir seusia Arjuna sedang main petak umpet. Mereka sama sekali
tidak takut oleh kehadiran saya.
”Itu anak-anak pembantu-pembantu
sebelah.”
”O ya?”
”Ya, orangtuanya juga sibuk kerja,
jadi anaknya tidak ada yang ngurus. Daripada mereka jadi gelandangan atau
korban narkoba, aku suruh saja main di sini nemani si Buah Hati,” kata istri
saya.
Mula-mula saya keberatan. Satu anak
tertawa dalam rumah, memang lucu. Tapi enam orang, saya akan kehilangan
privasi.
Ketika saya sedang bekerja di meja,
semuanya seliwar-seliwer di depan pintu. Kalau saya menoleh mereka mencelup.
Punggung saya terasa gatal ditancapi tatapan. Saya kira mereka mulai
kurang-ajar.
”Kamu frustrasi!” komentar istri
saya sambil tertawa,
”Persis!”
”Karena kamu kurang peka!”
Saya berpikir. Istri saya terus
ketawa.
”Kamu tidak peka. Anak-anak itu tahu
kamu baru kembali dari mudik. Mereka menunggu.”
”Menunggu apa?”
”Biasanya kalau pulang mudik orang
bawa oleh-oleh.”
”Aku bawa untuk Arjuna, bukan untuk
mereka!”
”Mereka semua anak-anak. Kamu harus
berikan sesuatu kepada semuanya.”
Istri saya mengulurkan sebuah
kantung plastik yang penuh coklat.
”Bagikan ini pada mereka!”
Saya takjub, tapi tak bisa menolak.
Sejak peristiwa itu, rumah saya
seperti penitipan anak. Kerap ibu-ibu tetangga karena keperluan yang mendesak
menitipkan anak di rumah kami. Anaknya pun senang bahkan mereka menganjurkan
agar dirinya dititipkan.
Untung saya cepat membiasakan diri.
Apalagi keadaan itu membuat gengsi kami naik. Istri saya menjadi popular. Saya
sering dipuji sebagai lelaki sejati.
Tetapi kemudian Laila kembali
menangis.
”Si Romeo bertingkah lagi!” umpat
istri saya setelah mengusut Laila, ”bayangkan, masak dia minta dibelikan
motor!”
”Motor? Emang mau ngojek.”
”Boro-boro ngojek, naik motor juga
nabrak melulu!”
”Terus untuk apa?”
”Menurut Laila itu mau disewakan
Romeo pada tukang ojek. Laila minta gajinya setengah tahun di bayar di muka.”
”Kamu tolak kan?!”
”Gimana ditolak? Laila diancam akan
digebukin kalau tidak berhasil.”
Saya jadi penasaran. Lalu saya
mencecer Laila.
”Laila, cinta itu tidak buta. Kalau
suami kamu terus dituruti, kepala kamu bisa diinjaknya. Suami pengangguran yang
mengancam dibelikan motor oleh istri itu bukan saja menginjak, tapi itu sudah
explotation de l’home par l’home tahu?!”
”Ya Pak.”
”Kamu mengerti?”
”Mengerti, Pak.”
”Suami yang baik boleh dihormati,
tapi yang jahat tendang!”
Laila tunduk dan mulai menangis.
”Kamu kok cinta mati sama si Romeo,
kenapa? Jangan-jangan kamu sudah kena pelet!”
”Saya hanya mau berbakti kepada
suami, Pak!”
”Itu bukan berbakti, tapi sudah
bunuh diri!”
”Orangtua saya selalu berpesan,
suami itu guru, Pak. Kata Ibu saya, tidak boleh membantah kata suami, nanti tidak
bisa masuk surga!”
”Tapi kelakuan si Romeo kamu itu
sudah melanggar HAM!”
Laila menunduk dan meneruskan
menangis. Hanya motor yang bisa menyetop air matanya. Terpaksa saya
mondar-mandir ke sana ke mari untuk mencari info motor bekas. Beruntunglah salah
satu satpam bangkrut karena kalah berjudi. Dia jual murah motornya. Langsung
saya bayar, daripada kehilangan Laila.
”Ah?! Ngapain mesti peduli semua
permintaan Laila,” kata istri saya marah-marah, ”Kalau kamu manjakan dia
begitu, sebentar lagi dia akan menginjak kepala kita! Pembantu itu jangan
dikasih hati. Kalau dia mau berhenti, biarin. Kita cari yang lain!”
Tapi kemudian istri saya sendiri
yang menyerahkan kunci motor bekas itu kepada Laila.
”Ini motornya, Laila. Cicil berapa
saja tiap bulan, asal kamu jangan keluar!”
Laila mencium tangan istri saya
dengan terharu. Saya juga mendapat perlakuan manis. Laila kelihatan sangat
bahagia. Sambil nyuci ia menyenandungkan lagu Nike Ardila.
Tapi itu hanya berlangsung sebulan.
”Si Romeo itu memang kurang ajar!” teriak
istri saya kemudian, ”Motor sudah digadaikan lagi, katanya nggak ada yang doyan
nyewa motor bekas!”
Saya bengong. Dengan mata
berkaca-kaca Laila minta maaf. Katanya, suaminya diancam akan dibunuh kalau
tidak melunasi hutangnya setelah kalah taruhan bola.
Istri saya mencak-mencak. Tapi
kemudian ia mendesak saya menebus motor itu dengan janji, Romeo dilarang
menyentuhnya.
”Kamu saja yang boleh naik motor itu
Laila! Yang lain-lain, haram!”
Sejak itu Laila masuk kerja
menunggang motor. Mobilitasnya lebih rapih. Dia selalu datang tepat waktu.
Anaknya bangga sekali duduk di boncengan. Meski para pembantu lain keki,
menganggap nasib Laila terlalu bagus, tidak kami pedulikan. Yang penting, Laila
tetap setia di posnya.
”PRT seperti Laila memang perlu
punya motor, supaya tenaganya tidak terkuras di jalanan. Motor itu bukan untuk
dia, tetapi untuk kepentingan kami juga,” kata istri saya kepada ibu-ibu
tetangga.
Tak terduga argumen itu patah,
ketika pada suatu hari Laila muncul tanpa motor. Hari pertama saya diam saja.
Pada hari ketiga saya tidak kuat melihat dia pulang menggendong Arjuna sambil
menenteng tas besar.
”Motor kamu mana, Laila?”
”Dipakai saudara misan saya, si
Neli, Pak.”
”Kenapa?”
”Kerjanya lebih jauh, Pak.”
”Kenapa dia tidak naik angkot saja?”
”Nggak boleh sama suami saya, Pak.”
Saya bingung. Kemudian saya baru
tahu, Neli saudara misan Laila sekarang tinggal bersama Laila satu rumah.
”Itu motor kamu Laila, tidak boleh
dipakai orang lain!”
”Tapi suami saya bilang begitu, Pak.
Saya harus mengalah sebab di pabrik tempat Neli kerja aturannya keras. Kalau
datang telat bisa dipecat.”
”Kamu juga harus tepat waktu sampai
di sini, Laila!”
”Betul, Pak.”
”Ambil motor itu kembali!!!!!!”
Besoknya Laila masuk kerja tepat
waktu. Tapi dia naik ojek. Saya marah.
”Maksudku kamu tidak hanya datang
tepat waktu, tapi harus pakai motor kamu! Kalau kamu datang ke mari naik ojek,
lebih baik jangan kerja!”
Laila bingung. Dia tidak mengerti
apa maksud saya. Istri saya mencoba menjelaskan. Tapi bukan menjelaskan kepada
Laila, dia justru menerangkan kepada saya.
”Laila tidak berani minta motor itu
karena takut digampar si Romeo.”
Saya bingung.
”Kenapa bangsat itu malah ngurus
misannya, bukan istrinya?”
”Sebab misan Laila itu perempuan !”
”Gila! Istrinya juga perempuan!”
”Tapi perempuan itu lebih muda! Dan
Romeo sudah mau menikahi si Neli!”
Saya megap-megap.
”Ya Tuhan! Kenapa Laila nerima saja
dikadalin begitu?
Istri saya hanya mengangguk.
”Sekarang memang banyak orang gila!”
Langsung saya interogasi Laila di
dapur.
”Kenapa kamu terus mengalah Laila?
Suami kamu sudah kurang ajar. Jangankan mau menikahi misanmu, mengancam kamu
membelikan pacarnya motor saja, sudah zolim! Kenapa?”
Laila tak menjawab.
”Kamu takut? Kalau perlu aku bantu
kamu mengadu kepada LBH. Orang macam Romeo itu, maaf, bajingan. Dia harus
dihajar supaya menghormati perempuan!”
Laila diam saja.
”Itu namanya kamu sudah kena pelet!
Kamu yang cantik begini pantasnya sudah lama menendang Romeo. Apa kamu tidak
sadar?!”
”Ya, Pak.”
”Kalau sadar kenapa tidak
bertindak?”
”Saya ingin berbakti pada suami,
Pak!”
”Itu bukan berbakti, tapi menghamba!
Diperbudak! Dijadikan kambing congek si Romeo asu itu, tahu!?”
”Ya, Pak!”
”Ya apa?”
”Kata orangtua saya, sebagai istri
saya mesti menghormati suami, saya tidak boleh membantah kata suami. Hanya
orang yang baik dan sabar yang akan bisa masuk surga.”
”Kalau orangtua kamu masih hidup,
dia tidak akan rela kamu disiksa begini?! Kamu ini cantik Laila!”
Mendengar dua kali menyebut kata
cantik, istri saya muncul. Saya diberi isyarat supaya minggir. Lalu dia bicara
dari hati ke hati dengan Laila. Entah apa yang mereka bicarakan. Tapi kemudian
saya lihat dari jauh, Laila menghapus air matanya.
”Kita tidak bisa kehilangan Laila,”
kata istri saya kemudian.
”Lho, memangnya dia minta berhenti?”
”Dia tidak bisa merebut motor itu
dari si Neli.”
”Tapi itu kan haknya!”
”Kita tidak bisa memaksakan jalan
pikiran kita ke otaknya. Tidak. Pokoknya tidak bisa.”
”Harus! Kita berkewajibkan
mengajarkan dia berpikir logis!”
”Kalau terlalu didesak, bisa-bisa
dia minta berhenti.”
”O ya, Laila bilang begitu?”
”Dia tidak bilang begitu, tapi pasti
akan begitu.”
”Kenapa dia begitu ketakutan?”
”Sebab Neli sudah dikawini Romeo!”
Saya terpesona. Lama saya mencoba
menghayati bagaimana perempuan yang secantik Laila bisa dikuasai Romeo tak
beradab itu. Saya tak akan pernah bisa mengerti.
Sementara terus-terang, kami sangat
bergantung pada Laila. Kalau dia tidak ada, rumah akan berantakan.
”Kita tidak mungkin kehilangan
Laila,” kata istri saya.
”Tapi dia tidak boleh dibiarkan
masuk kerja terlambat terus.”
”Karena itu dia harus punya motor!”
Saya tak menjawab. Istri saya yang
harus menjawab. Jawabannya agak tidak masuk akal. Laila dibelikan motor baru.
Laila tersenyum sambil meneteskan air mata haru mendengar keputusan itu. Arjuna
juga tertawa.
Motor kedua Laila langsung dari
dealer. Bodinya mulus, suaranya halus dan tarikannya kuat. Laila dan Arjuna
selalu datang tepat waktu. Saya dan istri puas, merasa keputusan kami tepat.
Tapi tak sampai satu bulan,
tiba-tiba Laila muncul kembali dengan motor bututnya yang lama. Waktu
kedatangannya memang tepat. Wajahnya juga tidak berubah. Ia tetap cantik dan
ceria. Hanya Arjuna yang kelihatan rewel. Dan istri saya ngamuk.
Tidak pakai pendahuluan lagi, Laila
langsung digebrak.
”Laila, Ibu sudah bosan bicara!
Kalau kamu masih saja datang pakai motor busuk ini, tidak usah kembali! Pulang!
Ibu beli motor baru untuk kamu dan Arjuna bukan untuk lelaki hidung belang itu!
Kalau motor itu dipakai oleh orang lain, kamu berhenti saja kerja sekarang!
Kembalikan motor kamu!”
Laila gemetar. Saya pun tersirap.
Belum pernah istri saya marah seperti itu. Tanpa berani membantah lagi. Laila
menaikkan lagi Arjuna yang sudah turun dari motor, lalu segera pergi. Saya
lihat mukanya pucat pasi.
Saya kira perempuan itu tidak akan
pernah kembali lagi. Tapi saya keliru. Besoknya, terdengar suara motor yang
halus masuk ke halaman. Saya cepat keluar dan kaget melihat Laila dengan motor
barunya. Arjuna tertawa senang. Laila mengangguk dan menyapa saya dengan sopan.
”Laila kembali, tapi mungkin untuk
pamit pergi,” bisik saya.
Istri saya menjawab acuh tak acuh.
”Sudah waktunya dia menghargai
dirinya sendiri!”
Hari berikutnya, seminggu, sebulan
dan seterusnya, Laila tetap bekerja. Ia selalu datang tepat waktu. Lewat dengan
anak dan motor baru, memasuki halaman rumah kami ia kelihatan tegar. Tidak
pernah menangis lagi. Rupanya terapi kejut dari istri saya sudah membuatnya
menjadi orang lain.
Tapi kalau diperhatikan ada sesuatu
yang hilang. Laila tidak pernah lagi menggumamkan lagu Nike Ardila.
Kadang-kadang dia termenung dan kelihatan hampa.
Ketika gajinya dinaikkan, Laila
tersenyum, mencium tangan istri saya, tapi tidak lagi meneteskan air mata. Saya
jadi penasaran.
”Laila, kenapa kamu kelihatan tidak
terlalu gembira?”
”Saya gembira gaji saya dinaikkan
Ibu, terima kasih, Pak.”
”Kamu naik motor mulus yang membuat
iri orang-orang lain. Anak kamu senang dan sehat. Saya dengar saudara misan
kamu sudah tidak di rumah kamu lagi. Suami kamu juga sudah tidak berani lagi
memukul dan berbuat semena-mena. Betul?”
”Betuk, Pak.”
”Tapi kenapa kamu kelihatan susah?”
Laila menunduk.
”Kenapa kamu sedih?”
”Ya, Pak, karena sekarang saya tidak
akan bisa masuk surga.”
Cerpen tersebut dikonversikan menjadi :
Laila
Pada suatu hari, ada
seorang pembantu bernama Laila, dia terlihat menangis dan ditanya oleh
majikannya.
Ibu majikan : Ada apa lagi Laila, kok nangis seperti
sinetron, kapan habisnya?
Tangis Laila bukannya
berhenti, malah tambah menjadi-jadi. Bapak majikan cepat memberi kode rahasia supaya interogasi
itu jangan dilanjutkan. Bapak majikan menganggap itu taktik minta gaji naik.
Ibu majikan : Laila itu bukan jenis pembantu murahan
yang mata duitan. Dia orang Jawa yang tahu diri, memangnya kamu! Dia punya
konflik.
bentak ibu majikan
sambil menarik Laila bicara empat mata.
Laila : Suami ibu
kurang ajar. Masak memaksa Laila banting tulang, tapi dianya ngurus anak ogah!
Primitif banget! Laki-laki apa itu? Giliran anaknya kena DB dibiarin saja. Coba
kalau sampai mati bagaimana? Pasti si Laila lagi yang disalahin! Memangnya
perempuan WC untuk nampung kotoran?.
Ibu majikan : Terlalu!
Laila : Sekarang si Romeo nyuruh Laila
berhenti lagi!
Ibu majikan : Berhenti?
Laila : Ya! Apa nggak gila?! Kalau
Laila tidak kerja mau ngasih makan apa si Arjuna?
Ibu majikan : Mungkin Laila dapat kerjaan baru
Laila : Mana ada orang mau menerima
pembantu yang tiap sebentar pulang, karena anaknya nangis!
Ibu majikan : Jadi Laila akan berhenti?
Laila : Tidak! Biar Laila bawa Arjuna
kemari, jadi kerjanya tenang.
Ibu majikan : Boleh sama si Romeo?
Laila : Memang itu yang dia mau!
Sejak
itu, Arjuna yang baru lima tahun itu jadi bagian dari rumah majikan Laila.
Kalau dia nangis, sementara ibunya memasak, sedangkan ibu majikan sibuk, itu
tanggung jawab bapak majikan. kemudian terjalin persahabatan indah antara bapak
majikan dan Arjuna. Saya bahkan merasa tersanjung ketika Arjuna memanggil saya
Pakde. Sudah 11 tahun ibu dan bapak majikan menginginkan anak. Mereka sudah
capek menjalani nasehat dokter. Akhirnya mereka ambil kesimpulan, tugas manusia
memang beda-beda. mereka mungkin bukan mesin reproduksi manusia. Kehadiran
Arjuna membuat rumah berubah. Kelucuan bahkan kebandelan Arjuna menyulap tiap
hari jadi beda. Sampai-sampai ibu majikan memanggilnya si Buah Hati.
Tapi
pulang dari mudik, saya terkejut. Di dapur terdengar suara ketawa beberapa
orang anak. Ternyata di situ ada lima bocah hampir seusia Arjuna sedang main
petak umpet. Mereka sama sekali tidak takut oleh kehadiran saya.
Ibu majikan : Itu anak-anak
pembantu-pembantu sebelah.
Bapak majikan : O ya?
Ibu majikan : Ya, orangtuanya juga sibuk
kerja, jadi anaknya tidak ada yang ngurus. Daripada mereka jadi gelandangan
atau korban narkoba, aku suruh saja main di sini nemani si Buah Hati.
Mula-mula bapak
majikan keberatan. Satu anak tertawa dalam rumah, memang lucu. Tapi enam orang,
dia akan kehilangan privasi.
Ketika bapak majikan
sedang bekerja di meja, semuanya seliwar-seliwer di depan pintu. Kalau bapak
majikan menoleh mereka mencelup. Punggung saya terasa gatal ditancapi tatapan.
Saya kira mereka mulai kurang-ajar.
Ibu majikan : Kamu frustrasi!
Bapak majikan : Persis!
Ibu majikan : Karena kamu kurang peka!
Bapak majikan berpikir.
Sementara Istrinya terus ketawa.
Ibu majikan : Kamu tidak peka. Anak-anak itu
tahu kamu baru kembali dari mudik. Mereka menunggu.
Bapak majikan : Menunggu apa?
Ibu majikan : Biasanya kalau pulang mudik
orang bawa oleh-oleh.
Bapak majikan : Aku bawa untuk Arjuna, bukan untuk
mereka!
Ibu majikan : Mereka semua anak-anak. Kamu
harus berikan sesuatu kepada semuanya.
Ibu majikan
mengulurkan sebuah kantung plastik yang penuh coklat.
Ibu majikan : Bagikan ini pada mereka!
Bapak majikan takjub,
tapi tak bisa menolak.
Sejak
peristiwa itu, rumah mereka seperti penitipan anak. Kerap ibu-ibu tetangga
karena keperluan yang mendesak menitipkan anak di rumah kami. Anaknya pun
senang bahkan mereka menganjurkan agar dirinya dititipkan. Untung bapak majikan
membiasakan diri. Apalagi keadaan itu membuat gengsi kami naik. Istri saya
menjadi popular. Saya sering dipuji sebagai lelaki sejati.
Laila :
Si Romeo bertingkah lagi! bayangkan, masak dia minta dibelikan motor!
Ibu majikan : Motor? Emang mau ngojek.
Laila : Boro-boro ngojek, naik motor
juga nabrak melulu!
Ibu majikan : Terus untuk apa?
Laila : Menurut Laila itu mau
disewakan Romeo pada tukang ojek. Laila minta gajinya setengah tahun di bayar
di muka.
Ibu majikan : Kamu tolak kan?
Laila : Gimana ditolak? Laila diancam
akan digebukin kalau tidak berhasil.
Bapak majikan jadi
penasaran. Lalu saya mencecer Laila.
Bapak majikan: Laila,
cinta itu tidak buta. Kalau suami kamu terus dituruti, kepala kamu bisa
diinjaknya. Suami pengangguran yang mengancam dibelikan motor oleh istri itu
bukan saja menginjak, tapi itu sudah explotation de l’home par l’home
tahu?
Laila : Ya Pak.
Bapak majikan: Kamu
mengerti?
Laila : Mengerti, Pak.
Bapak majikan: Suami
yang baik boleh dihormati, tapi yang jahat tendang!
Laila tunduk dan
mulai menangis.
Bapak majikan; Kamu
kok cinta mati sama si Romeo, kenapa? Jangan-jangan kamu sudah kena pelet!
Laila : Saya hanya mau berbakti kepada
suami, Pak!
Bapak majikan: Itu
bukan berbakti, tapi sudah bunuh diri!
Laila : Orangtua saya selalu berpesan,
suami itu guru, Pak. Kata Ibu saya, tidak boleh membantah kata suami, nanti
tidak bisa masuk surga!
Bapak majikan: Tapi
kelakuan si Romeo kamu itu sudah melanggar HAM!
Laila
menunduk dan meneruskan menangis. Hanya motor yang bisa menyetop air matanya.
Terpaksa saya mondar-mandir ke sana ke mari untuk mencari info motor bekas.
Beruntunglah salah satu satpam bangkrut karena kalah berjudi. Dia jual murah
motornya. Langsung saya bayar, daripada kehilangan Laila.
Ibu majikan : Ah?! Ngapain mesti peduli semua permintaan
Laila, kalau kamu manjakan dia begitu, sebentar lagi dia akan menginjak kepala
kita! Pembantu itu jangan dikasih hati. Kalau dia mau berhenti, biarin. Kita
cari yang lain!
Tapi kemudian ibu majikan sendiri yang menyerahkan kunci
motor bekas itu kepada Laila.
Ibu majikan ` : Ini motornya, Laila. Cicil berapa saja tiap
bulan, asal kamu jangan keluar!
Laila
mencium tangan ibu majikan dengan terharu. Bapak majikan juga mendapat
perlakuan manis. Laila kelihatan sangat bahagia. Sambil nyuci ia
menyenandungkan lagu Nike Ardila. Tapi itu hanya berlangsung sebulan.
Ibu majikan : Si Romeo itu memang kurang ajar! Motor
sudah digadaikan lagi, katanya nggak ada yang doyan nyewa motor bekas!
Bapak majikan
bengong. Dengan mata berkaca-kaca Laila minta maaf. Katanya, suaminya diancam
akan dibunuh kalau tidak melunasi hutangnya setelah kalah taruhan bola. Istri
saya mencak-mencak. Tapi kemudian ia mendesak saya menebus motor itu dengan
janji, Romeo dilarang menyentuhnya.
Ibu majikan : Kamu saja yang boleh naik motor itu Laila!
Yang lain-lain, haram!
Sejak itu Laila masuk
kerja menunggang motor. Mobilitasnya lebih rapih. Dia selalu datang tepat
waktu. Anaknya bangga sekali duduk di boncengan. Meski para pembantu lain keki,
menganggap nasib Laila terlalu bagus, tidak kami pedulikan. Yang penting, Laila
tetap setia di posnya. Ibu majikan berbincang-bincang dengan tetangga.
Ibu majikan : PRT seperti Laila memang perlu punya
motor, supaya tenaganya tidak terkuras di jalanan. Motor itu bukan untuk dia,
tetapi untuk kepentingan kami juga.
Tak
terduga argumen itu patah, ketika pada suatu hari Laila muncul tanpa motor.
Hari pertama bapak majikan diam saja. Pada hari ketiga bapak majikan tidak kuat
melihat dia pulang menggendong Arjuna sambil menenteng tas besar.
Bapak majikan : Motor
kamu mana, Laila?
Laila : Dipakai saudara misan saya, si
Neli, Pak.
Bapak majikan ;
Kenapa?
Laila : Kerjanya lebih jauh, Pak.
Bapak majikan: Kenapa
dia tidak naik angkot saja?
Laila : Nggak boleh sama suami saya,
Pak.
Bapak majikan
bingung. Kemudian bapak majikan baru tahu, Neli saudara misan Laila sekarang
tinggal bersama Laila satu rumah.
Bapak majikan: Itu
motor kamu Laila, tidak boleh dipakai orang lain!
Laila : Tapi suami saya bilang begitu,
Pak. Saya harus mengalah sebab di pabrik tempat Neli kerja aturannya keras. Kalau
datang telat bisa dipecat.
Bapak majikan: Kamu
juga harus tepat waktu sampai di sini, Laila!
Laila : Betul, Pak.
Bapak majikan: Ambil
motor itu kembali!
Besoknya Laila masuk
kerja tepat waktu. Tapi dia naik ojek. Bapak majikan marah.
Bapak majikan : Maksudku
kamu tidak hanya datang tepat waktu, tapi harus pakai motor kamu! Kalau kamu
datang ke mari naik ojek, lebih baik jangan kerja!
Laila bingung. Dia
tidak mengerti apa maksud saya. Istri saya mencoba menjelaskan. Tapi bukan
menjelaskan kepada Laila, dia justru menerangkan kepada saya.
Ibu majikan : Laila tidak berani minta motor itu karena
takut digampar si Romeo.
Bapak majikan bingung.
Bapak majikan: Kenapa
bangsat itu malah ngurus misannya, bukan istrinya?
Ibu majikan : Sebab misan Laila itu perempuan !
Bapak majikan : Gila!
Istrinya juga perempuan!
Ibu majikan : Tapi perempuan itu lebih muda! Dan Romeo
sudah mau menikahi si Neli!
Bapak majikan
megap-megap.
Bapak majikan : Ya
Tuhan! Kenapa Laila nerima saja dikadalin begitu?
Ibu majikan hanya
mengangguk.
Bapak majikan : Sekarang
memang banyak orang gila!
Langsung saya
interogasi Laila di dapur.
Bapak majikan : Kenapa
kamu terus mengalah Laila? Suami kamu sudah kurang ajar. Jangankan mau menikahi
misanmu, mengancam kamu membelikan pacarnya motor saja, sudah zolim! Kenapa?
Laila tak menjawab.
Bapak majikan : Kamu
takut? Kalau perlu aku bantu kamu mengadu kepada LBH. Orang macam Romeo itu,
maaf, bajingan. Dia harus dihajar supaya menghormati perempuan!
Laila diam saja.
Bapak majikan : Itu
namanya kamu sudah kena pelet! Kamu yang cantik begini pantasnya sudah lama
menendang Romeo. Apa kamu tidak sadar?
Laila : Ya, Pak.
Bapak majikan : Kalau
sadar kenapa tidak bertindak?
Laila : Saya ingin berbakti pada suami,
Pak!
Bapak majikan : Itu
bukan berbakti, tapi menghamba! Diperbudak! Dijadikan kambing congek si Romeo
asu itu, tahu!
Laila : Ya, Pak!
Bapak majikan : Ya
apa?
Laila : Kata orangtua saya, sebagai
istri saya mesti menghormati suami, saya tidak boleh membantah kata suami.
Hanya orang yang baik dan sabar yang akan bisa masuk surga.
Bapak majikan: Kalau
orangtua kamu masih hidup, dia tidak akan rela kamu disiksa begini?! Kamu ini
cantik Laila!
Mendengar dua kali menyebut
kata cantik, ibu majikan muncul. Bapak majikan diberi isyarat supaya minggir.
Lalu dia bicara dari hati ke hati dengan Laila. Entah apa yang mereka bicarakan.
Tapi kemudian bapak majikan lihat dari jauh, Laila menghapus air matanya.
Ibu majikan : Kita tidak bisa kehilangan Laila.
Bapak majikan : Lho,
memangnya dia minta berhenti?
Ibu majikan : Dia tidak bisa merebut motor itu dari si
Neli.
Bapak majikan : Tapi
itu kan haknya!
Ibu majikan : Kita tidak bisa memaksakan jalan pikiran
kita ke otaknya. Tidak. Pokoknya tidak bisa.
Bapak majikan : Harus!
Kita berkewajibkan mengajarkan dia berpikir logis!
Ibu majikan : Kalau terlalu didesak, bisa-bisa dia
minta berhenti.
Bapak majikan : O ya,
Laila bilang begitu?
Ibu majikan : Dia tidak bilang begitu, tapi pasti akan
begitu.
Bapak majikan :
Kenapa dia begitu ketakutan?
Ibu majikan : Sebab Neli sudah dikawini Romeo!
Bapak majikan
terpesona. Lama dia mencoba menghayati bagaimana perempuan yang secantik Laila
bisa dikuasai Romeo tak beradab itu. dia tak akan pernah bisa mengerti.
Sementara, mereka sangat bergantung pada Laila. Kalau dia tidak ada, rumah akan
berantakan.
Ibu majikan : Kita tidak mungkin kehilangan Laila.
Bapak majikan : Tapi
dia tidak boleh dibiarkan masuk kerja terlambat terus.
Ibu majikan : Karena itu dia harus punya motor!
Motor
kedua Laila langsung dari dealer. Bodinya mulus, suaranya halus dan tarikannya
kuat. Laila dan Arjuna selalu datang tepat waktu. Bapak dan ibu majikan puas,
merasa keputusan mereka tepat.
Tapi
tak sampai satu bulan, tiba-tiba Laila muncul kembali dengan motor bututnya
yang lama. Waktu kedatangannya memang tepat. Wajahnya juga tidak berubah. Ia
tetap cantik dan ceria. Hanya Arjuna yang kelihatan rewel. Dan istri saya
ngamuk.
Tidak
pakai pendahuluan lagi, Laila langsung digebrak.
Ibu majikan : Laila, Ibu sudah bosan bicara! Kalau kamu
masih saja datang pakai motor busuk ini, tidak usah kembali! Pulang! Ibu beli
motor baru untuk kamu dan Arjuna bukan untuk lelaki hidung belang itu! Kalau
motor itu dipakai oleh orang lain, kamu berhenti saja kerja sekarang!
Kembalikan motor kamu!
Laila
gemetar. Bapak majikan pun tersirap. Belum pernah dia marah seperti itu. Tanpa
berani membantah lagi. Laila menaikkan lagi Arjuna yang sudah turun dari motor,
lalu segera pergi. Bapak majikan melihat mukanya pucat pasi.
Ternyata
besoknya, terdengar suara motor yang halus masuk ke halaman. Bapak majikan
cepat keluar dan kaget melihat Laila dengan motor barunya. Arjuna tertawa
senang. Laila mengangguk dan menyapa bapak majikan dengan sopan.
Bapak majikan : Laila
kembali, tapi mungkin untuk pamit pergi.
Ibu majikan : Sudah waktunya dia menghargai dirinya
sendiri!
Hari
berikutnya, seminggu, sebulan dan seterusnya, Laila tetap bekerja. Ia selalu
datang tepat waktu. Lewat dengan anak dan motor baru, memasuki halaman rumah
kami ia kelihatan tegar. Tidak pernah menangis lagi. Rupanya terapi kejut dari
ibu majikan sudah membuatnya menjadi orang lain.
Tapi
kalau diperhatikan ada sesuatu yang hilang. Laila tidak pernah lagi
menggumamkan lagu Nike Ardila. Kadang-kadang dia termenung dan kelihatan hampa.
Ketika
gajinya dinaikkan, Laila tersenyum, mencium tangan ibu majikan, tapi tidak lagi
meneteskan air mata. Bapak majikan jadi penasaran.
Bapak majikan : Laila,
kenapa kamu kelihatan tidak terlalu gembira?
Laila : Saya gembira gaji saya dinaikkan
Ibu, terima kasih, Pak.
Bapak majikan : Kamu
naik motor mulus yang membuat iri orang-orang lain. Anak kamu senang dan sehat.
Saya dengar saudara misan kamu sudah tidak di rumah kamu lagi. Suami kamu juga
sudah tidak berani lagi memukul dan berbuat semena-mena. Betul?
Laila : Betuk, Pak.
Bapak majikan : Tapi
kenapa kamu kelihatan susah?
Laila menunduk.
Bapak majikan :
Kenapa kamu sedih?
Laila : Ya, Pak, karena sekarang saya
tidak akan bisa masuk surga.
Bapak
majikan tercengang sambil heran, dia langsung pergi sambil menggeleng-gelengkan
kepalanya dan kembali ke kamarnya.